PERJUANGAN CUT NYAK DIEN
A. PENDAHULUAN
Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan
Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi,
sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni
1878 yang menyebabkan Cut
Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan
Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi
karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak
Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai
anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah
pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar
bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang
sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat
itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot
melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda
Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya
menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan
pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet
Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November
1908 dan dimakamkan di
Gunung Puyuh, Sumedang.
B.
PEMBAHASAN
B.1 Kehidupan awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat
beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama
Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang
VI Mukim,
yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera
Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18
ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul
Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau.
Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar. Pada masa kecilnya, Cut
Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama
(yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang
dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien
dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh
orangtuanya pada tahun 1862
dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka
memiliki satu anak laki-laki.
B.2 Perlawanan saat Perang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang
kepada Aceh,
dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh
pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874),
Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah
bertempur melawan Belanda
yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu,
Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April
1873, Belanda
mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa
menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.
Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita
dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita
begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?”
Kesultanan
Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan
kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873. J.B. van
Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang
Aceh
Pada tahun 1874-1880,
di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki
Belanda
pada tahun 1873,
sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan
bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember
1875. Suaminya selanjutnya
bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Ketika Ibrahim Lamnga
bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni
1878. Hal ini membuat Cut
Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Teuku Umar,
tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam
medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku
Umar pada tahun 1880.
Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir).
Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut
Gambang. Teuku Umar,
suami kedua Cut Nyak Dhien.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan
gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda
semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan
pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja
dan "menyerahkan diri" kepada Belanda.
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga
mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku
Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda
dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak
Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien
berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk
mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin
orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan
tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan
mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien
pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi
Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar
(pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda
marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien
dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti.
Penggantinya, Jend. Jakobus
Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda
berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar
rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda
Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda
terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit "Maréchaussée"
lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh
orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon
yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan
Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit
"De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan
nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh. Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan
ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan
pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar
untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari
1899. Akhirnya, Teuku Umar
gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis
karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan
berkata:
“Sebagai
perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”
|
Cut
Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus
bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda
sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah
semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga
jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini
membuat iba para pasukan-pasukannya.
B.3 Cut Nyak Dien, setelah
tertangkap oleh pihak Belanda
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan
lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas
Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian.
Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.
Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang melindungi Dien sampai
kematiannya. Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia
tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong
dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh
Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan
yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
C. PENUTUP
C.1 Masa tua dan kematian
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh
dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur
sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat,
karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat
perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum
tunduk. Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan
menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga
menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda
dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas
yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia
dijuluki sebagai "Ibu Perbu".
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal
karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada
tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu
Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK
Presiden RI
No.106 Tahun 1964
pada tanggal 2 Mei
1964.
C.2 Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan
pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian
dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang
sering menggelar acara sarasehan. Pada
acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar
dua kilometer.
Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung
sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran.
Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat
melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian
makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan
pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien
dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang
makam terdapat musholla
dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai
makam keluarga ulama H. Sanusi. Pada
batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab,
Surah
At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh. Jumlah
peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan
di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah makam
ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat. Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari
kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.
C.3 presiasi
Perjuangan Cut Nyak Dien
diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai
oleh Eros Djarot
dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet
Burnama sebagai Pang Laot, Slamet
Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor.
Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia
pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989). Biografinya
juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam
majalah anak-anak Ananda.
DAFTAR PUSTAKA
Armand, Deddi. “Cut Nyak Dien”. Penerbit: Pustaka
Ananda.
Sudarmanto, Y.B. 1999. “Jejak Pahlawan Indonesia”. Penerbit:
Grasindo.
Muhazir. 1984 .”Pahlawan
Repulusi Aceh”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar